Sabtu, 08 Agustus 2015

Bukan Karena Kau Tak Mapan, Aku Hanya Ingin Punya Pasangan yang Mau Berjuang Demi Masa Depan


Hai sahabatku,
pria yang selama ini telah banyak menemaniku.
Di mana pun kamu berada kini, semoga kabarmu baik-baik saja ya! Sebagai seorang sahabat, aku tak akan pernah ada hentinya mendoakanmu dari jauh. Tuhan tahu pasti kalau namamu terselip setelah kedua orangtua dan keluargaku.
Tahukah engkau jika selama ini aku merindukanmu? Jangan berburuk sangka dulu! Bukan berarti aku ingin kembali memelukmu setelah sempat menolak cintamu. Aku merindukanmu karena masih perduli padamu. Aku yakin engkau masih bisa jadi sahabat sejati seumur hidupku, bagaimana pun keadaannya.
Sebenarnya, ada yang ingin kusampaikan meski dengan sedikit berat hati. Sejak penolakan itu, bukankah kita tiada bersua lagi? Aku hanya takut bahwa engkau punya persepsi yang salah dengan penolakanku. Tidak, aku tidak seperti yang engkau dan mungkin orang lain kira. Lewat catatan kecil ini, ijinkan aku sekadar meluruskannya. Semoga kau membaca dan memahaminya dengan seksama.

 Aku selalu suka membayangkan bagaimana melalui masa depan bersamamu. Hidup berdua hingga rambut kita memutih barangkali tak sekali dua kali mampir di otakku.
Aku pernah mendambakan hidup kita seperti ini
Di awal pertemuan, mungkin getaran hati kita sudah sama. Getaran hati itulah yang terpancar pada setiap pandangan mata kita. Kadang kita saling mencuri-curi waktu untuk bisa bertemu. Setiap pertemuan yang menyatukan, terus-menerus membuat kita antusias menjalani hari. Tiada hari tanpa tawa dan senyum, baik saat kita bertemu maupun sekedar bertegur sapa di perangkat seluler. Coba engkau bayangkan betapa bahagianya aku?
Ketika kecocokan bersemayam di hatiku, namamu senantiasa terngiang di tiap sudut otakku. Impian untuk membangun masa depan bersama turut terlintas. Bagaimana aku dengan gaun putih rendaku yang mewah bersanding dengan gagahnya dirimu lewat satu stel jas hitam. Atau mungkin aku yang sedikit ribet mengenakan sanggul dan kemben, lalu kau bantu naik ke singgasana pelaminan. Jujur saja, bahkan aku membayangkan kita berdua terlibat keribetan mengurus anak kita yang mengompol, berlarian ke sana kemari, atau ketika ia menangis meraung-raung karena demam. Lucu, ya?

Perhatianmu padaku seperti tak ada habisnya. Tapi sering dalam diam aku bertanya, tidakkah dirimu sendiri justru lebih membutuhkannya?
Setiap hari, inilah yang engkau lakukan
Setiap hari, inilah yang engkau lakukan
Aku dapat melihat kesungguhanmu dalam mencintaiku. Tanpa banyak kata, kau telah menunjukkannya dengan bukti-bukti besar. Di satu sisi, inilah yang selalu membanggakanku karena memiliki cintamu. Di sisi lain, apakah kau hanya menghabiskan waktu untuk mencintaiku saja? Mengapa aku terkesan menjadi satu-satunya prioritas dalam hidupmu? Tidakkah engkau juga memiliki impian mulia yang ingin diwujudkan di masa depan?
Pertanyaan ini kemudian menjadi hantu yang tanpa henti bergentayangan di dalam pikiranku. Apa iya engkau semalas itu? Apa iya engkau semalas yang kawan-kawanmu katakan? Sementara orang lain mulai memikirkan masa depannya, engkau memilih untuk tetap santai dan bermain-main. Hingga saat ini, aku pun tak melihat keseriusanmu dalam mencapai masa depan. Tak dapat kusangkal, aku mulai ragu.


Mengejar mimpi dan membahagiakan kedua orang tua adalah yang kuingini, tapi kehadiranmu dalam hidupku malah mengacaukan fokus dan konsentrasi.

Sedangkan tanggunjwabku begitu kerasnya demi diriku sendiri dan keluarga
Sedangkan tanggunjwabku begitu kerasnya demi diriku sendiri dan keluarga 
�Sayang, sedang apa? Aku lagi nongkrong bareng temen-temen kampus, nih.�
Ketika aku bekerja, tak jarang aku sering menerima SMS atau telepon darimu. Tak terbayangkan kalau aku harus berjibaku dengan setumpuk deadline yang tak ada habisnya, sedangkan kau terus-menerus menuntutku untuk membalas perhatianmu. Ingin rasanya aku menyampaikan,
�Ayolah, sayang! Ini waktunya bekerja. Jangan terus-terusan memintaku untuk bermanja-manja denganmu. Sebaliknya, inilah waktu yang tepat untukmu agar bekerja keras. Kapan lagi kau akan memulainya, minimal demi masa depanmu sendiri?�
Berulang kali aku sampaikan. Berulangkali aku mempertanyakan perihal kebiasaan malasmu. Apakah kau tidak ingin segera meluluskan kuliahmu? Tidakkah kau ingin segera bekerja dan membangun masa depan? Bila kau ingin memulai masa depan yang bahagia dan memulai sebuah pernikahan, bukankah engkau perlu melaluinya dengan kerja keras?


Jujur rasa gundah sering muncul dalam hati. Apa yang perlu dipertahankan lagi, jika aku dan kamu tak lagi satu frekuensi dalam mengejar mimpi?

Semakin lama, keraguan ini semakin lancip saja
Semakin lama, keraguan ini semakin lancip saja 
Setelah melalui banyak pertanyaanku, engkau tetap saja bergeming. Aku tak tahu lagi apa yang harus kukatakan dan kulakukan demi mengubah sifat malasmu. Semuanya terasa membingungkan.
Yang aku tahu, bukankah kita harus saling bahu-membahu jika memang pernikahan adalah tujuan akhir kita? Realistis saja, di kehidupan nanti akan ada banyak kebutuhan hidup di tengah tantangan waktu yang selalu berkembang. Belum lagi jika memiliki buah hati. Apakah hanya aku yang harus berjuang sendiri saja? Tegakah engkau melihatku pontang-panting sendirian demi keluarga nantinya?


Jangan salah sangka. Bukan berarti aku hanya menginginkan pria yang mapan. Aku pasti memilihmu, seandainya kamu mau berjuang demi masa depan

Di masa tua, ia yang mendampingiku kuharap dapat terus diajak bekerjasama
Di masa tua, ia yang mendampingiku kuharap dapat terus diajak bekerjasama
Tolonglah dengarkan penegasanku. Dalam hal pendamping hidup, tak sedikit pun aku berpikir untuk mencari-cari pria yang mapan. Bukan seperti itu. Aku tak akan pernah bisa menjangkau pria-pria berdompet tebal, bermobil mewah, dan memiliki rumah seharga milyaran. Aku juga bukanlah tipe wanita yang mencari pria-pria seperti itu supaya hidupku nanti terjamin, kemudian aku dapat bersantai-santai di rumah atau membunuh waktu dengan belanja barang-barang bermerek. Tidak! Seperti kau tahu, aku adalah pekerja keras.
Aku memahami kau bukanlah pria yang datang dari kalangan berada. Dan itu tak akan pernah aku jadikan masalah. Malahan aku sangat bisa berdamai dengannya. Toh aku pun berasal dari kaum yang tidak seberapa. Akan tetapi, alangkah indahnya bila kita sama-sama bekerja keras dan mengubah nasib. Bila kita telah terlatih memulainya sejak dini, maka kelangsungan hidup kita di masa depan pun tak perlu dikhawatirkan lagi.
Kiranya itu yang dapat kujelaskan perihal mengapa aku menolakmu. Jangan pernah lagi menganggapku memanfaatkanmu. Tidak. Aku akan selalu menjadi wanita pekerja keras yang kau kenal, Sahabatku. Lalu, kapan kira-kira kita bisa bertemu?

Dari aku,  sahabat yang selalu merindukanmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar